PURA BRAWIJAYA PANTAI NGOBARAN
Ngobaran
merupakan pantai yang cukup eksotik. Kalau air surut, anda bisa melihat
hamparan alga (rumput laut) baik yang berwarna hijau maupun coklat. Jika
dilihat dari atas, hamparan alga yang tumbuh di sela-sela karang tampak seperti
sawah di wilayah padat penduduk. Puluhan jenis binatang laut juga terdapat di
sela-sela karang, mulai dari landak laut, bintang laut, hingga golongan
kerang-kerangan.
Tapi
yang tak terdapat di pantai lain adalah pesona budayanya, mulai dari bangunan
hingga makanan penduduk setempat. Satu diantaranya yang menarik adalah adanya
tempat ibadah untuk empat agama atau kepercayaan berdiri berdekatan. Apakah itu
bentuk multikulturalisme? Siapa tahu.Bangunan yang paling jelas terlihat adalah
tempat ibadah semacam pura dengan patung-patung dewa berwarna putih. Tempat
peribadatan itu didirikan tahun 2003 untuk memperingati kehadiran Brawijaya V,
salah satu keturunan raja Majapahit, di Ngobaran. Orang yang beribadah di
tempat ini adalah penganut kepercayaan Kejawan (bukan Kejawen lho). Nama
"Kejawan" menurut cerita berasal dari nama salah satu putra Brawijaya
V, yaitu Bondhan Kejawan. Pembangun tempat peribadatan ini mengaku sebagai
keturunan Brawijaya V dan menunjuk salah satu warga untuk menjaga tempat ini.
Berjalan
ke arah kiri dari tempat peribadatan tersebut, Anda akan menemui sebuah Joglo
yang digunakan untuk tempat, kepercayaan Kejawen berbeda dengan Kejawan. Namun
mereka sendiri tak begitu mampu menjelaskan perbedaannya.
Bila
terus menyusuri jalan setapak yang ada di depan Joglo, anda akan menemukan
sebuah kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Tanaman tersebut dipagari
dengan kayu berwarna abu-abu. Titik dimana ranting kering ini tumbuh konon
merupakan tempat Brawijaya V berpura-pura membakar diri. Langkah itu
ditempuhnya karena Brawijaya V tidak mau berperang melawan anaknya sendiri,
Raden Patah (Raja I Demak).
Kebenaran
cerita tentang Brawijaya V ini kini banyak diragukan oleh banyak sejarahwan.
Sebabnya, jika memang Raden Patah menyerang Brawijaya V maka akan memberi kesan
seolah-olah Islam disebarkan dengan cara kekerasan. Banyak sejarahwan
beranggapan bahwa bukti sejarah yang ada tak cukup kuat untuk menyatakan bahwa
Raden Patah melakukan penyerangan. Selengkapnya bagaimana, mungkin Anda bisa
mencari sendiri.Beberapa meter dari kotak tempat ranting kering tumbuh terdapat
pura untuk tempat peribadatan umat Hindu. Tak jelas kapan berdirinya pura
tersebut.Di bagian depan tempat ranting tumbuh terdapat sebuah masjid berukuran
kurang lebih 3x4 meter. Bangunan masjid cukup sederhana karena lantainya pun
berupa pasir. Seolah menyatu dengan pantainya. Uniknya, jika kebanyakan masjid
di Indonesia menghadap ke Barat, masjid ini menghadap ke selatan. Bagian depan
tempat imam memimpin sholat terbuka sehingga langsung dapat melihat lautan.
Ketika dipertanyakan pada penduduk setempat, tak banyak yang tahu tentang
alasannya. Bahkan, penduduk setempat sendiri heran karena yang membangun pun
salah satu Kyai terkenal pengikut Nahdatul Ulama yang tinggal di Panggang,
Gunung Kidul. Sebagai petunjuk bagi yang akan sholat, penduduk setempat memberi
tanda di tembok dengan pensil merah tentang arah kiblat yang sebenarnya.
Setelah
puas terheran-heran dengan situs peribadatannya, Anda bisa berjalan turun ke
pantai. Kalau datang pagi, maka pengunjung akan menjumpai masyarakat pantai
tengah memanen rumput laut untuk dijual kepada tengkulak. Mereka biasanya
menjual rumput laut dengan harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilo. Hasilnya
lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.Namun, kalau datang sore,
biasanya Anda akan menjumpai warga tengah mencari landak laut untuk dijadikan
makanan malam harinya. Untuk bisa dimakan, landak laut dikepras dulu durinya
hingga rata dan kemudian dipecah menggunakan sabit. Daging yang ada di bagian
dalam landak laut kemudioan dicongkel. Biasanya warga mencari landak hanya
berbekal ember, saringan kelapa, sabit, dan topi kepala untuk menghindari
panas.
Landak
laut yang didapat biasanya diberi bumbu berupa garam dan cabe kemudian
digoreng. Menurut penduduk, daging landak laut cukup kenyal dan lezat.
Sayangnya, tak banyak penduduk yang menjual makanan yang eksotik itu. Tapi
kalau mau memesan, coba saja meminta pada salah satu penduduk untuk memasakkan.
Siapa tahu, anda juga bisa berbagi ide tentang bagaimana memasak landak laut
sehingga warga pantai Ngobaran bisa memakai pengetahuan itu untuk berbisnis
meningkatkan taraf kehidupannya.
Komentar
Posting Komentar